Untukmu, di Masa Depan

Untukmu, di Masa Depan

Aliyah Salsabila XI-5

Namaku Wilhelm, aku tinggal bersama ibuku di suatu desa terpencil di Jawa Barat. Diriku baru saja menginjak usia 7 tahun, namun ibuku tidak mempunyai uang untuk melakukan selebrasi. Bekerja sebagai buruh pabrik, dengan gaji yang tidak seberapa. Meskipun begitu, ibu membelikanku sesuatu. Sebuah jurnal yang kosong, dan berbeda dari buku-buku catatan yang pernah ku lihat. Meskipun sederhana, tapi hal sederhana ini saja sudah membuat ku bahagia. Pada hari itu, ku habiskan waktu untuk menuliskan hal-hal yang kusukai.

*** 

Ibuku mengatakan, bahwa aku sudah siap untuk bersekolah. Tidak bisa kutuliskan, betapa senangnya diriku pada hari itu. Untuk pertama kalinya, ibu mengajak diriku untuk berbelanja alat tulis. Aku pun terheran-heran, padahal kami masih memiliki pensil dan penghapus di rumah. Saat ku bertanya kepada ibu, ia hanya tersenyum dan mengatakan. “Ah sudah, tidak apa-apa. Kan kita cuma pergi sekali saja ?”. Ibuku mengatakan, bahwa toko peralatan tulis baru saja dibuka, bahkan toko seperti ini tidak ada di zaman ibu. Di toko itu, terdapat banyak orang yang berbelanja, bahkan membawa anak-anaknya untuk membeli kebutuhan tulis menulis. Saat ku lihat, anak di sebelahku membeli banyak sekali barang, seperti buku tulis dalam jumlah yang banyak, pulpen, penghapus, pensil, penggaris. Saat aku terpaku kepada belanjaan mereka, ibu menarik tangan ku, ternyata dia sudah selesai berbelanja. Saat kulihat, ternyata ia hanya membeli tiga buku tulis. Dibandingkan dengan anak-anak yang kulihat, mereka membeli peralatan menulis yang lengkap. Tanpa berpikir panjang, ku hanya tersenyum. Kami berdua pergi ke kasir, dan pulang. Sepanjang perjalanan, aku masih terbayang-bayang dengan belanjaan anak tersebut.

***

Hari pertama sekolah, tidak menyenangkan sama sekali. Aku dihina, dikarenakan aku dianggap berbeda dengan anak yang lain. Kulit putih, rambut coklat, badan tinggi. Itulah kata-kata yang kuingat dari mereka. Tapi, mengapa hanya diriku? Terdapat banyak anak juga, yang memiliki karakteristik yang serupa. Bahkan wali kelas ku, Pak Sugi, memandang ku dengan tatapan yang aneh. Apa yang salah dalam diriku? Pada akhirnya, aku tidak memiliki teman. Setiap kali ada anak yang mencoba berbicara dengan ku, pasti akan ada anak lain yang melarangnya. Memangnya, aku pernah melakukan apa ke mereka ? Hari itu berakhir, dengan diriku yang bergegas pulang ke rumah. Mungkin saja, hal ini hanya berlaku selama sehari …

Keesokan harinya, ternyata masih saja tidak berubah. Pagi hari itu diawali tatapan yang tidak mengenakkan, bahkan bisikan-bisikan yang terasa samar. Jam pertama ialah pelajaran sejarah, spesifik sejarah Indonesia. Khusus jam pelajaran sejarah, Bu Ani yang mengajar. Dibandingkan dengan Pak Sugi yang kaku, Bu Ani sangatlah baik. Pada hari itu, kami diberikan tugas berkelompok, tentang definisi dan salah satu contoh peristiwa bersejarah. Bu Ani membaginya menjadi 4 anggota, sesuai dengan preferensi Bu Ani. “Untuk kelompok terakhir, Sumani, Kasmi, Sucip, dan Wilhelm. Kalian saya tugaskan 2 dari kalian untuk menuliskan definisi sejarah, dan sisahnya mencari suatu peristiwa bersejarah di Indonesia. Sekarang, berkumpul sesuai kelompok.” Ucap Bu Ani, lalu ia duduk di bangku pengajar. Kami duduk berdasarkan kelompok yang dibagikan, Sumani duduk bersama Kasmi, sedangkan aku duduk dengan Sucip. Sumani langsung mengambil peran sebagai ketua, ia menyuruhku dan Sucip untuk mencarikan suatu peristiwa bersejarah di Indonesia. Sucip, anak desa yang berkulit sawo matang, dengan tinggi badan yang pendek serta gigi depan yang menyerupai kelinci. Meskipun cengil, tapi Sucip sebenarnya adalah anak yang penakut. Pada awalnya aku kurang menyukai Sucip, tetapi aku tidak menyangka bahwa ini akan menjadi awal persahabatan kami.

*** 

Setiap pulang sekolah, aku dan Sucip sering berkumpul di sebuah rumah terbengkalai, yang tidak jauh dari sekolah. Biasanya, kami sering belajar bersama, dan mengulas kembali materi yang telah dibahas di kelas. Sucip mengatakan keinginannya untuk menjadi seorang yang sukses, dan untuk mencapai tujuan tersebut ia mengatakan bahwa ia harus belajar dengan rajin. Sama sepertiku, Sucip dijauhi dikarenakan penampilannya. Ternyata, ada juga orang-orang yang mengukur tingkat pertemanan lewat penampilan.

Sucip adalah anak yang cukup keras kepala, kadang ia menolak saran-saran yang kuberikan. “Aku juga bisa melakukannya!” Kata andalannya, setiap kali aku tidak setuju dengan pendapatnya. Aslinya sih, aku mengerti mengapa ada beberapa anak yang kurang menyukainya, tapi Sucip aslinya anak yang baik. Ibu ku sering mengatakan, untuk tidak menilai orang dari luarnya.

***

“Bu, kenapa aku diperlakukan paling beda di kelas?” Tanyaku, melihat ibu yang masih memasak di dapur. “Mungkin karena kamu itu istimewa, beda kan sama anak-anak lain” Ucapnya, mengaduk nasi yang masih belum mendidih. “Kenapa, hampir semuanya di kelasku membenciku? Padahal, kami belum saling kenal …” Ibuku terhenti, dan melihat ke belakang. Matanya terlihat sedih, namun tidak ada tangisan di wajahnya. “Ganti baju dulu, ya. Untuk saat ini disabari saja, mungkin cuma sehari ini.”

***

Pembelajaran Bahasa Indonesia, Pak Sugi memberikan tugas individu untuk menuliskan hal-hal tentang keluarga. Pak Sugi mengatakan, bahwa setiap keluarga pasti memiliki seorang ayah dan ibu. Disampingku, bahkan anak seperti Sucip mengerjakannya dengan mudah. Kebingungan, aku memutuskan untuk bertanya ke depan.

“Permisi, Pak Sugi. Saya ingin bertanya, tentang tugas ini. Saya tidak mengetahui ayah saya, bahkan tampangnya saja tidak pernah lihat.” Ucap ku dengan ragu, bahkan tidak berani menatap matanya. “Bodoh, tak tahu bapaknya! Hubungan gelap ya, atau kamu anak buangan?” Ucap Pak Sugi dengan keras, satu kelas sampai mendengarnya. Murid-murid lain tertawa dengan keras, bahkan ada beberapa yang seperti membisikkan sesuatu. Seketika, aku merasa sangat malu. Bodoh, mengapa aku menanyakan pertanyaan itu. Dengan malu, aku kembali ke bangku, dan mengerjakan tugas itu dengan apa adanya. Hal itu sangatlah memalukan, diriku ingin sekali menangis. Sucip pun hanya terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Semenjak saat itu, aku segan menanyakan tugas ke Pak Sugi …

***

“Dulunya, penampilan ayah itu seperti apa?” Ucapku, sembari menata buku untuk pelajaran besok. Selama ini, ibu tidak pernah menceritakan ayah kepadaku. Dari penampilan, pekerjaan, ceritanya saja tidak pernah ku ketahui. “Ayah itu … Seorang pekerja keras, seorang tentara juga!” Ucap ibu, terdengar antusias. “Kalau begitu, kenapa tidak pernah ada seragam ayah disini? Juga, kenapa tak kunjung pulang?” Tanya ku, lalu menghadap ke belakang. Ibu hanya terdiam, menata baju-baju yang sudah ia lipat. Bahkan, ia tidak menatapku. Aku tidak mengerti, mengapa ibu tidak ingin membalas … “Bapakmu itu, seorang kompeni nak” Ucapnya, sebelum ia pergi keluar kamar. Suatu kata baru, apa yang ibu maksud ‘kompeni’? Mungkin, aku bisa menanyakan nya …

***

Di sekolah, tidak ada satu anak pun yang mengerti pertanyaanku. Tidak ada yang mengetahui kompeni, bahkan anak terpintar di kelas pun kebingungan. Saat ku tanya Pak Sugi pun, ia hanya menatapku. Ia seperti mengatakan kata serapah, lalu menyuruhku untuk menanyakannya ke orang lain.

Saat sekolah sudah selesai, aku bergegas mencari Bu Ani. Hanya ada sedikit pengajar di desa kecil ini, dan yang ku kenal hanyalah Bu Ani. Kebetulan, aku langsung berpapasan dengannya. Dengan sigap, aku langsung menanyakannya. “Maaf Wilhelm, Bu Ani tidak bisa langsung menjelaskannya disini. Coba saja, bertanya ke Pak Valissi! Dia itu pustakawan yang tinggal di sebelah sekolah, katanya ia ingin membukanya kembali pada minggu depan.”

***

Minggu depan, tepatnya hari Sabtu. Hari ini telah datang, sepulang sekolah ku langsung datangi perpustakaan tersebut. Terlihat sebuah tulisan, “Open” di depan pintu. “Hallo, welkom” Ucap sang pustakawan. Aksen yang tidak pernah ku dengar, serta bahasa yang terasa asing. Menyadari kebingungan ku, sang pustakawan tertawa kecil dan membenarkan kacamatanya. “Halo nak, selamat datang di perpustakaan Boeken. Bisa saya bantu?” Ucapnya, menawarkan buku-buku yang sedang ia tata. Ini pertama kalinya aku berada di perpustakaan, tertata rapi dengan buku-buku yang sesuai dengan temanya. Tiba-tiba aku teringat dengan objektif ku, dan segera menghadap pustakawan tersebut. “Permisi pak … Disini ada buku tidak, yang ada ‘kompeni'-nya? Sampai bingung, bertanya sampai kemana-mana tidak ada yang tahu.” Ucapku dengan ragu, mengira bahwa ia tidak juga tidak tahu. Pustakawan itu mengingat-ingat, lalu segera mengambil sebuah buku di rak pojok selatan. Ia memberikan ku buku, berjudul ‘Compagnie Leger’. Awalnya aku skeptis, kalau buku ini akan berisi bahasa asing, tapi ternyata terdapat dua versi bahasa. Suatu bahasa asing, dengan tempelan kertas bertuliskan bahasa Indonesia. “Permisi pak, ini di sebelah bahasa apa?” Pustakawan itu menggosok kacamatanya, dan mengecek secara sekilas. “Itu bahasa Londo, bahasa Belanda yakni Dutch.” Ucapnya, sambil mengembalikan buku tersebut. “Bukunya mau di pinjam?” Meskipun awalnya agak skeptis, tapi aku mengangguk. Pada akhirnya, aku meminjam buku tersebut. Bahkan, aku sering bolak-balik meminjam buku di perpustakaan tersebut, Pak Valissi pun sampai hafal dengan namaku.

***

Biasanya, setelah membantu ibu di rumah, aku menghabiskan sisa waktu untuk membaca buku tersebut. Setelah ku pelajari lebih dalam, kompeni adalah salah satu sebutan untuk tentara-tentara Belanda. Meskipun mempunyai banyak definisi, tapi disebutkan bahwa kompeni adalah tentara Hindia-Belanda. Kompeni memiliki reputasi bisa dibilang tidak bagus, Bu Ani sering menjelaskan bahwa mereka kejam, tidak berhati nurani, dan jahat. Tapi, semua hal itu berbeda dari buku yang ku baca. Mereka mengenalkan sistem pendidikan yang lebih terstruktur, dan melahirkan tokoh-tokoh terpelajar seperti Soekarno, dan Mohammad Hatta. Semakin ku mempelajari isi buku tersebut, semakin penasaran diriku tentang kompeni.

***

Pada hari Selasa, setelah jam pelajaran terakhir sejarah, aku langsung menanyakannya kepada Bu Ani. “Wilhelm, bukannya kamu itu masih kecil? Mengapa menanyakan pertanyaan rumit seperti itu?” Ucap Bu Ani, ia seperti kebingungan. Di sekolahku, hanya Bu Ani yang akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dariku. Di rumah saja, ibu terlihat enggan setiap kali aku menanyakan ataupun membaca buku tersebut. Setelah beberapa ketukan, Bu Ani akhirnya duduk di kursinya sendiri. “Setiap orang memiliki pandangan tersendiri Wilhelm, materi yang ibu sampaikan jelas-jelas berbeda dari yang buku ini jelaskan. Kelak nanti kamu mengerti, atau mungkin saja Bu Ani akan bisa menjelaskannya kelak nanti. Ya?” Ia tersenyum lebar, meskipun terdapat bibit-bibit khawatir pada dirinya. Meskipun merasa kurang puas, aku hanya membalas senyumannya dan melambaikan tangan, pulang ke rumah.

***

Berbulan-bulan berlalu, dan aku masih saja membawa buku tersebut. Bahkan, aku sering menceritakan isi buku tersebut kepada Sucip. Meskipun sering terlihat kebingungan, namun Sucip juga tertarik dengan isi buku tersebut. Kami merasa seperti anak-anak terpintar di kelas, karena kami belajar materi-materi yang tentu belum diajarkan oleh sekolah. “Penulisan ing buku ini apik yo!” “Sucip, tidak hanya tulisannya yang disukai, tapi isinya dipelajari juga.” “Maksute, penulisane ki terstruktur, dadine apik!”

***

Sekian lama menunggu, akhirnya Bu Ani menjelaskan materi tentang kompeni beserta asal-usulnya. Sudah sekitar dua tahun, semenjak aku mulai mempelajari sejarah Belanda. Akhirnya aku bisa mengetahui, alasan mengapa ibu tidak pernah ingin membahas hal ini kepada diriku. Seperti biasa, Bu Ani menjelaskan materinya dengan sangat teliti dan cukup singkat. Selama mata pelajaran berlangsung, anak-anak di kelas sering berbisik dan mengatakan hal-hal yang tidak kepadaku. Ternyata, kompeni itu sangat mengerikan ya … Seperti kata Bu Ani dulunya, bahwa setiap orang pasti memiliki pandangan tersendiri. Tapi, aku masih tidak mengerti. Dua hal yang serupa, namun mengapa isi-nya sangat berbeda?

***

“Ibu, mengapa aku berbeda?” Pertanyaan yang sering muncul di dalam benakku, namun tidak pernah tersampaikan. Mengapa ibu menyembunyikannya dalam ‘ketidaktahuan’, apakah ia takut dengan kenyataannya? Di sekolah pun temanku hanyalah Sucip, hampir semua guru pun memandangku tidak enak. Diskriminasi yang sering kualami, memangnya ini adil?

***

Akhir-akhir ini, ibu sering menjual berbagai barang-barangnya sendiri. Pabrik tempat ibu bekerja bangkrut, dikarenakan terdapat banyak warga sekitar yang tidak setuju dengan kehadiran pabrik tersebut. Tidak hanya pabrik tempat ibu bekerja, beberapa pabrik di daerah sekitar pun dipaksa tutup oleh warga sekitar. Pabrik yang sudah berdiri semenjak zaman kompeni, akhirnya sudah di tutup semua. Tidak hanya ibu, banyak juga orang yang kehilangan pekerjaannya. Ada yang terpaksa menjadi pencuri, keluar dari desa ini, dan bahkan ada yang sudah berpasrah.

Saat bersekolah pun, aku mendengar banyak anak-anak yang mengeluhkan hal yang sama. Uang saku yang dikurangi, sampai banyak yang mengatakan bahwa mereka tidak akan bersekolah lagi dikarenakan harus membantu orang tua. Meskipun mereka telah memperlakukanmu dengan buruk, tapi aku merasa iba kepada mereka.

Minggu dari minggu, bulan dari bulan, beberapa murid berhenti sekolah dikarenakan kondisi ekonomi keluarganya. Apakah, aku akan menempuh hal yang sama?

***

Akhir-akhir ini, ibu terlihat lebih kurus. Ibu kesusahan mencari kerja, dan seringkali juga makan lebih sedikit. Aku tidak berani menanyakan kondisi ibu, takut ia akan sedih. Kondisi keluarga ku memang menyedihkan, tapi aku tidak pernah menyangka hal seperti ini … Terkadang, aku rela bolos sekolah untuk membantu pekerjaan rumah ibu. Semakin hari, rumah menjadi semakin tidak terawat. Bahkan, Sucip pun sering bertanya, kapan terakhir kali kami bertukar tawa seperti dulu. Aku sering merindukan, masa-masa tersebut.

***

Setiap Sabtu, aku biasa mendatangi perpustakaan Pak Valissi untuk membantunya. Setiap pekerjaan yang dilakukan, Pak Valissi akan memberikan upah. Aku sangat bersyukur, bahwa masih ada orang yang ingin membantuku. Membersihkan perpustakaan dan menata ulang buku-bukunya sangatlah melelahkan. Itu membuat salut kepada Pak Valissi, membersihkan dan merawat perpustakaan ini seorang diri.

“Kamu itu, mengingatkan bapak dengan anak saya sendiri … Anaknya optimis, tegar, dan sangat suka membaca.” Ucap Pak Valissi, sembari duduk dan menyeduh teh. “Andaikata kalian berdua bertemu, pasti akan menjadi teman dekat …” Mendengar itu, aku hanya terdiam. Pak Valissi tidak pernah menceritakan tentang anggota keluarganya, bahkan aku baru mengetahui bahwa ia punya anak. Sesudah merapikan rak yang berdebu, Pak Valissi mengajakku untuk duduk dan minum teh bersama. Pada hari itu, Pak Valissi menceritakan tentang keluarganya sebelum ia pindah kesini.

Aku tidak menyangka, bahwa Pak Valissi adalah orang asli Belanda. Pak Valissi mengatakan, bahwa ia adalah ‘Indisch’, yaitu orang Belanda yang lahir dan dibesarkan di Indonesia. Bahkan, Pak Valissi sempat mengira bahwa aku juga Indisch. Meskipun tidak yakin, tapi mungkin itu benar. Ibu tidak pernah menceritakan tentang ayah, ataupun alasan mengapa aku dijauhi … Sekarang, semua hal itu menjadi jelas.

*** 

Dikarenakan aku sering ketinggalan pelajaran di kelas, tidak jarang juga Sucip datang untuk belajar bersama. Selama beberapa tahun terakhir, Sucip sudah menjadi lebih baik. Dia tidak lagi bermalas-malasan belajar, bahkan dia terlihat antusias setiap kali ia mengajariku. Meskipun aku berada dalam titik terendah, namun masih ada kawan yang peduli kepada diriku. Mengejar materi yang ketinggalan, sampai mengerjakan tugas secara bersamaan.

*** 

Pada akhirnya, aku menyadari bahwa hidup tidaklah seburuk itu. Meskipun aku akan mengejar banyak ketertinggalan dalam kehidupan, namun aku akan tetap terus menjalaninya. Pada akhirnya, hal yang baik akan berdatangan. Ibu ku sudah mendapatkan pekerjaan yang tetap menjadi petani, dan akhirnya aku bisa bersekolah dengan normal lagi.

Aku masih bersyukur, bahwa masih ada orang-orang yang peduli kepada diriku. Ibu yang senantiasa merawat ku, Bu Ani yang selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan ku, Pak Valissi yang secara tidak langsung memberikan ku ilmu, serta Sucip, sahabat yang selalu menemaniku dalam masa-masa yang sulit. Meskipun aku mendapati diskriminasi, namun aku tetap tegar menghadapinya. Aku tidak malu memiliki darah biru, mengapa aku harus denial dengan diriku sendiri. Terima kasih, untuk orang-orang yang selalu ada untuk ku. 

Komentar