Tak Perlu Sama Untuk Berharga

 

TAK PERLU SAMA UNTUK BERHARGA

Karya : Melinda Putri/XI-1

 

Mareen Aeri Verena.

Sebuah nama yang tercetak sunyi di pojok kanan selembar sertifikat—mengilap dalam bias emas yang pudar, nyaris seperti ironi.

Ia terasing, terkubur di antara piagam-piagam bisu, teronggok di laci kayu reyot yang makin renyah dimakan waktu.

Debu menebal. Sudut-sudutnya menggulung luka.

Dan tak ada satu pun yang mencarinya.

Di dalam keheningan kamar yang beraroma kertas tua dan hujan yang merambat perlahan di jendela—aku menatapnya.

Lama.

Seperti menatap reruntuhan kemenangan yang tak pernah disambut, tak pernah sungguh-sungguh dirayakan.

Hanya aku tahu bahwa ia pernah ada.

Aku duduk bersila, membiarkan bahuku rebah letih di sudut ranjang. Jemariku yang dingin memutar bulpen—pelan, nyaris mati rasa.

Di hadapanku, selembar kertas kosong… menatap balik.

Seperti menantangku: "Tulis. Jika kau berani menyuarakan rasa yang selalu kalah tempat."

Tapi aku diam.

Karena diam, seringkali lebih tahu caranya menyembuhkan.

Lalu suara itu datang lagi—dari ruang tamu, dari mulut yang selalu bangga kepada satu nama yang bukan aku.

"Wah, juara satu lagi ya? Anak ibu memang luar biasa!"

Seketika, ruang di dadaku mencicit. Bukan tangis. Hanya denting kecil dari harap yang hancur diam-diam.

Panas? Ah, tak lagi membakar. Aku telah begitu akrab dengan nyeri yang seperti ini, luka yang tak memilih hari untuk menganga.

Iri? Barangkali. Sedikit. Tapi cukup untuk membuatku terus-menerus bertanya, bagaimana rasanya menjadi cahaya yang disambut mata, bukan sekadar bintang yang redup di langit yang tak pernah ditengadah?

"Noreen Aera Varuna, juara satu Olimpiade Matematika Nasional! Anak pintar memang beda!"

Seruan itu kembali menggema, menyayat seperti ujung belati yang menari pelan di dalam dada.

Aku menarik lutut ke dada, mendekapnya rapat, seolah bisa kupeluk kehampaan ini agar tak membuncah.

Tangisku jatuh diam-diam, seperti gerimis yang malu-malu membasuh bumi yang tak lagi sama.

Ingin rasanya berkata: "Bu, Yah, aku di sini. Aku juga menang. Aku juga pernah membuat langit bertepuk tangan."

Namun suaraku sekarat di tenggorokan, tertahan oleh lumpur yang sudah terlalu dalam.

Dengan jemari gemetar, aku membereskan serpihan piagam dan sertifikat yang berserak di lantai, seakan merapikan sisa-sisa keberadaanku sendiri.

Air mata yang jatuh tanpa permisi, buru-buru kuseka—seolah malu karena ketahuan rapuh.

Lalu, langkah kaki menghampiri.

Tok tok...

"Mareen, ayo makan. Noreen mau traktir malam ini."

Bahkan dalam undangan makan pun, namanya yang lebih dahulu ddisebut

✒✒✒

Esoknya.

Aku berdiri membatu di depan papan pengumuman.

Kerumunan siswa-siswi berdesak, berbisik, bersorak kecil, lalu berpencar seperti burung-burung yang telah menemukan langit baru.

Aku menoleh pada satu-satunya orang yang mungkin masih bisa kusebut teman, Ailee.

"Ai, kenapa ramai sekali di depan?" tanyaku.

Dia tidak langsung menjawab.

Malah membuka bukunya—sebuah dunia yang penuh angka, rumus, dan lambang-lambang yang bagiku hanya serupa hieroglif asing.

Dengan nada ringan, nyaris tanpa beban, ia menjawab, "Ada lomba kimia. Semua anak daftar. Tapi kayaknya... kamu nggak perlu tahu soal ini. Soalnya kamu nggak bakal tertarik."

Senyumku terbit. Hambar. Penuh retak-retak yang nyaris tak terlihat.

"Oh begitu ya, terima kasih, Ai." Suaraku lirih, selembut dedaunan gugur yang ditiup sepi.

~~~

Pada jam istirahat, kukeraskan telingaku sedikit, suara mereka samar masuk ke ruang dengarku.

"Eh, besok ada lomba debat juga, ya?" tanya Noreen semangat ke teman-teman.

"Iya, terus minggu depan olimpiade matematika lagi!" jawab Mila, teman sekelas kami.

Aku tidak ikut dalam percakapan itu.

Entah mengapa, topik mereka melenceng dari pikiranku.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang menepuk punggung Noreen.

"Selamat ya, Noreen!" seru Ailee.

Noreen tersenyum lebar. "Makasih, Ai!"

"Juara satu lomba matematika nasional. Keren banget sih," puji Ailee, lalu matanya sekilas melirik ke arahku yang masih sibuk menulis.

✒✒✒

Sepulang sekolah, rumah menyambutku bukan dengan pelukan, tapi riuh tawa.

Ibu sedang berbicara dengan Noreen—wajahnya berseri, matanya penuh cahaya yang jarang sekali kutemukan saat menatapku.

"Noreen, ayo ikut Ibu beli hadiah. Anggap aja sebagai apresiasi Ibu karena kamu menang kemarin," ucapnya, penuh bangga, sembari mengelus kepala Noreen seolah dia satu-satunya alasan Ibu tersenyum hari ini.

Aku berdiri di ambang pintu. Tak bersuara. Tak terlihat.

Lalu matanya beralih padaku. Dan nadanya ikut berubah.

"Mareen, rumah masih berantakan. Sebelum kami pulang, beresin semua, ya. Jangan cuma melamun."

Aku menunduk. Dada terasa sempit seperti kamar yang tak pernah dibuka jendelanya.

"Iya, Bu," ucapku pelan, meski hatiku berteriak hal lain.

Mereka pergi dengan langkah ringan—meninggalkan pintu rumah yang berayun pelan, seolah ragu, apakah harus menutupku rapat… atau tetap kubiarkan terbuka sambil menunggu pulang yang tak pernah benar-benar untukku.

~~~

Saat Ibu, Ayah, dan Noreen pulang membawa kantung-kantung hadiah, mereka mendapati rumah masih sama—sunyi, tak tersentuh.

Memang, aku belum menyapu, belum menyentuh apapun. Sejak tadi, aku hanya duduk di kamar, larut membaca buku seperti biasa.

Tiba-tiba, suara Ibu meledak. Untuk pertama kalinya—dan mungkin yang paling menyakitkan—ia membentakku.

"Kamu disuruh bersih-bersih malah rebahan? Emang mau jadi apa kamu nanti, Reen?!"

Aku berdiri perlahan, meletakkan novel di atas kasur dengan tangan gemetar. 

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mencoba membela diri.

Dengan suara lirih yang nyaris putus, aku berkata, "Bu... Mareen juga menang. Mareen juga bisa. Mareen juga ingin dirayakan, Bu. Bukan cuma Noreen." 

"Mareen juga butuh didukung... juga ingin dibanggakan. Kenapa cuma Noreen yang selalu dilihat?"

Sejenak, rumah seperti kehilangan napas. 

Semua membeku. Bahkan jam dinding pun terdengar ragu berdetak.

Aku tak menunggu balasan. Tak berani. 

Cepat-cepat kupungut buku-buku, kertas berserakan, alat tulis yang tercecer. Lalu melangkah keluar kamar, menahan dadaku yang terasa penuh oleh sesuatu yang tak bisa kutumpahkan.

~~~

Langkah kakiku menyeret berat di lorong sempit yang sepi. Di balikku, tak ada suara. Hening menggantung di langit-langit rumah, lebih menusuk dari bentakan Ibu.

Aku tahu... aku seharusnya tidak menangis di depan mereka. Tapi di titik ini, aku bukan ingin dimengerti sepenuhnya. Aku hanya ingin dianggap ada.

Tiba di meja ruang tengah, aku menyusun ulang piagam-piagam usang yang pernah kusembunyikan. Lomba menulis puisi, kompetisi esai, juara cerpen tingkat provinsi—semuanya kusembunyikan seperti aib, karena tak pernah ada yang peduli pada kemenangan yang tak berbau angka.

Di sela-sela sertifikat itu, ada sebuah kertas kusut. Sebaris puisi tentang seorang anak yang tak pernah dijemput dari panggung kemenangannya.

Langkah-langkah akhirnya terdengar mendekat.

Ibu berdiri di ambang pintu kamarku, diam. Tatapannya menelusuri meja belajarku, lalu jatuh ke laci yang sedikit terbuka. Tangannya gemetar saat menarik keluar tumpukan piagam yang nyaris lapuk oleh waktu dan pengabaian.

Tak ada kata. Hanya desahan lirih, "Astaga, Mareen…"

Ayah mendekat perlahan. Noreen pun ikut menatap lembar demi lembar, seperti melihat sisi dari saudarinya yang selama ini terkubur di balik sorotan prestasi sendiri.

Aku berdiri di tengah ruangan, tangan masih gemetar memegang kertas terakhir.

"Mareen, Maaf ya, Nak…" suara Ibu pecah, pecah seperti dinding yang akhirnya tak mampu menahan air yang menggenang. "Ibu... nggak tahu kalau kamu menyimpan semuanya sendiri. Ibu terlalu fokus ke satu cahaya, sampai lupa… kalau bintang tak terhitung jumlahnya. Dan kamu… kamu juga salah satunya."

Tanganku ditarik dalam pelukan. Hangat, tapi juga membuat dada terasa makin sesak. Karena aku tahu, selama ini aku cuma ingin ini—dipeluk, diakui, dirayakan.

Ayah menyusul. Noreen ikut merangkul dari samping.

Untuk pertama kalinya, aku menang... dan dirayakan dalam dekapan utuh satu keluarga.

Di luar, hujan turun perlahan. Seperti ikut merayakan.

✒✒✒

Seminggu berlalu. 

Langit pagi tampak teduh saat barisan siswa memenuhi lapangan upacara. Angin berembus pelan, mengibaskan bendera dan membelai rambut kami yang berdiri di bawahnya. 

Aku berdiri di samping Noreen, kali ini bukan sebagai bayangannya—tapi sebagai seseorang yang juga dipanggil naik ke podium. 

Pengumuman itu menggema: 

“Selamat kepada Noreen Aera Varuna, Juara 1 Olimpiade Kimia Nasional.” 

Tepuk tangan mengiringi langkah Noreen naik ke depan. 

“Dan Mareen Aeri Verena, Juara 1 Lomba Menulis Nasional, mewakili sekolah.” 

Aku nyaris tak percaya saat mendengar namaku disebut, disambut dengan sorak sorai yang sama. Untuk pertama kalinya, aku berdiri di tempat yang terang—tempat yang dulu hanya bisa kulihat dari kejauhan. 

Kami berdiri berdampingan. Berbeda arah, tapi melangkah dari rumah yang sama. 

Ketika mikrofon disodorkan, kami saling tatap sejenak. Tak ada kompetisi. Hanya pengakuan bahwa kami berdua telah sampai. 

Lalu, bersama-sama kami berkata, 

“Bakat tumbuh dalam banyak rupa; dan semua itu berhak bersuara.” 

Dan pagi itu, seluruh lapangan diam—bukan karena sunyi, tapi karena kata-kata kami telah menemukan tempat untuk tinggal: di hati mereka yang selama ini mungkin merasa tak pernah menemukan telinga.

Komentar