Pada Sebuah Hening
Oleh : Azriel Reynard J.
Aku
duduk di bangku taman itu lagi. Langit sudah mulai jingga, dan seperti biasa,
daun-daun gugur berjatuhan tanpa siapa pun peduli. Aku menatap kosong ke depan,
membiarkan suara gesekan angin di dedaunan memenuhi telinga, seperti pengganti
kata-kata yang tak pernah berhasil keluar dari mulutku.
"Sendirian lagi?"
Suara
itu datang tiba-tiba. Aku menoleh dan mendapati Reza berdiri, membawa dua gelas
kopi dalam tangan. Ia tersenyum kecil, seolah-olah sudah terbiasa menemukan aku
dalam keadaan ini.
"Iya," jawabku singkat.
Tanpa menunggu undangan, Reza duduk
di sampingku.
"Kopi?" tawarnya,
mengangkat gelas satunya ke arahku.
Aku mengangguk, mengambilnya.
Beberapa
detik kami hanya diam. Aku tahu Reza bukan tipe yang suka memaksa orang bicara.
Ia akan menunggu sampai aku siap, atau tidak sama sekali. Mungkin itu sebabnya
aku tetap bertahan berteman dengannya, meski banyak orang lain yang sudah
pergi.
"Aku... kadang merasa seperti
botol kaca," akhirnya aku membuka suara, pelan.
Reza tidak menyahut. Ia hanya
mendengarkan.
"Semua rasa, semua pikiran,
semua cerita... menumpuk di dalam. Tapi tutupnya terlalu rapat. Mau sekeras
apapun aku mengguncangnya, isinya tetap tidak tumpah. Tidak ada yang
keluar."
Aku
menarik napas panjang, mencoba menata kata-kata.
"Banyak hal di dalam diriku
yang... tidak pernah menemukan telinga. Tidak pernah menemukan jalan untuk
keluar."
Reza
masih diam, tapi aku tahu ia mendengar. Itu cukup untuk membuatku terus bicara.
"Aku pernah coba. Dulu. Aku
cerita sedikit tentang perasaanku, tentang ketakutanku. Tapi jawabannya selalu
sama: 'Kamu lebay.' 'Udah lah, jangan drama.' 'Masih banyak orang yang lebih
susah dari kamu.' Lalu aku diam. Semakin lama, semakin yakin: mungkin memang
aku berlebihan. Mungkin memang semua ini cuma ada di kepalaku."
Aku
tersenyum hambar, menunduk.
"Padahal, aku cuma ingin ada
yang dengar. Bukan menghakimi. Bukan membandingkan. Bukan memaksa aku untuk
segera 'baik-baik saja'."
Kopi
di tanganku sudah mulai mendingin. Tapi aku tidak peduli.
"Mungkin karena itu aku lebih
suka diam sekarang," aku melanjutkan. "Menyimpan semuanya. Sampai aku
sendiri kadang lupa apa yang sebenarnya aku rasakan. Semuanya berputar-putar,
menabrak-nabrak di dalam. Tapi di luar, aku tetap tersenyum. Aku tetap
berfungsi. Aku tetap... hidup."
Ada jeda. Aku merasa sedikit bodoh
karena membuka semua ini. Tapi anehnya, dada ini terasa sedikit lebih ringan.
"Kadang aku juga merasa
begitu," suara Reza akhirnya terdengar, pelan, nyaris seperti bisikan.
Aku menoleh, menatapnya.
"Kadang aku juga merasa dunia
ini... terlalu bising untuk mendengar suara kita yang pelan," lanjutnya.
"Semua orang sibuk dengan ceritanya sendiri. Semua orang merasa masalahnya
paling berat. Jadi, siapa yang benar-benar mau mendengarkan?"
Aku menahan napas.
"Aku mau dengar," kata
Reza. "Kalau kamu mau cerita, aku di sini."
Untuk
pertama kalinya hari itu, aku benar-benar merasa ingin menangis. Tapi aku
tahan. Seperti biasa.
"Aku takut," kataku.
"Takut apa?"
"Takut semua ini cuma membuatku
terlihat lemah. Takut orang lain semakin menjauh. Takut... aku malah tambah
sakit karena berharap seseorang bisa mengerti."
Reza mengangguk pelan, seolah paham.
"Rasa takut itu wajar,"
katanya. "Tapi kalau terus kamu pendam sendiri, rasa takut itu akan tumbuh
liar. Membesar. Mencekik. Sampai kamu bahkan lupa seperti apa rasanya
lega."
Aku
menggenggam gelas kopi lebih erat.
"Aku tahu," bisikku.
"Aku tahu. Tapi kadang aku
merasa... mungkin memang aku ditakdirkan untuk memendam semuanya. Mungkin
memang tidak semua orang bisa menemukan tempat untuk cerita."
Aku
mendengar suara tawa kecil dari Reza. Bukan mengejek, tapi seperti seseorang
yang sangat mengerti.
"Kalau begitu," katanya,
"jadikan aku tempat sampahmu."
Aku
mengerutkan kening.
"Apa maksudmu?"
"Kalau kamu merasa kata-katamu
terlalu berat, kalau kamu merasa perasaanmu terlalu jelek, buang saja ke aku.
Ceritakan semuanya. Aku janji nggak akan kasih komentar. Aku janji nggak akan
bilang kamu lebay. Aku janji..." Ia mengangkat tangannya, seolah
bersumpah.
Aku
tertawa kecil, untuk pertama kalinya hari itu.
"Tempat sampah ya?" aku
mengulang.
"Iya. Tempat kamu buang semua
beban yang nggak muat lagi di dadamu," jawabnya santai.
Aku
menatapnya lama. Lalu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku berkata,
"Aku capek." Sederhana. Tapi jujur. Aku capek menjaga semua ini
sendirian. Aku capek tersenyum ketika ingin menangis. Aku capek menjadi kuat
untuk semua orang, tapi tidak ada yang tahu aku sendiri hampir rubuh.
Reza
tidak menyela.
Aku
melanjutkan. Kata-kata itu mengalir seperti air pecah dari bendungan. Tentang
malam-malam panjangku yang penuh kegelisahan. Tentang ketakutanku yang tidak
rasional. Tentang rasa bersalah yang menempel bahkan untuk hal-hal kecil.
Tentang betapa kadang aku ingin menghilang, sekadar untuk tahu siapa yang akan
benar-benar mencariku.
Sampai
akhirnya aku berhenti sendiri. Kehabisan kata. Kehabisan napas. Reza masih di
situ. Diam. Tapi mendengarkan. Untuk pertama kalinya, aku merasa semua yang
berputar-putar dalam diriku menemukan telinga.
Bukan
untuk dihakimi. Bukan untuk diberi solusi. Hanya untuk didengarkan. Kadang, itu
saja cukup. Aku menatap langit yang kini sudah berganti warna, menjadi ungu tua
yang indah.
"Terima kasih," kataku.
Reza
hanya mengangguk, tersenyum kecil. Kami duduk di sana cukup lama, membiarkan
malam turun perlahan. Mungkin dunia masih tetap berisik. Mungkin luka-luka di
dalamku masih ada. Tapi hari ini, aku menemukan sesuatu yang selama ini kucari.
Sebuah telinga. Sebuah hati yang mau menerima semua ceritaku, tanpa syarat.
Dan
untuk kali ini, itu lebih dari cukup.
Komentar
Posting Komentar