Banyak Hal dalam Diriku yang Tak Pernah Menemukan Telinga
Oleh: AISYAH SERALRIYANTI
Aku pernah bicara pada angin, berharap ia membawa suaraku ke seseorang. Tapi angin terlalu sibuk lewat, dan aku tetap sendiri.
Namaku Aisyah. Di sekolah, aku bukan siapa-siapa. Di rumah, aku hanya bayangan yang lalu-lalang. Aku hidup, tapi seakan tak pernah hadir. Di kelas, aku duduk di pojok, mencatat dengan rapi, menjawab saat ditanya, lalu menghilang tanpa jejak ketika bel pulang berbunyi.
Aku punya banyak cerita. Tentang mimpiku jadi penulis. Tentang malam-malam saat aku menangis tanpa tahu sebab. Tentang ayah yang tak pernah pulang sejak aku SMP. Tentang ibu yang berubah jadi dingin seperti lemari es. Tapi semua cerita itu hanya berputar di kepalaku, tak pernah menemukan telinga yang mau mendengar.
“Kenapa kamu diam terus sih?” tanya Desti, teman sebangkuku, suatu hari.
Aku ingin menjawab, “Karena aku takut tak didengarkan.” Tapi lidahku kaku, dan aku hanya mengangkat bahu.
Desti tertawa kecil, lalu kembali sibuk dengan gawainya. Aku menarik napas pelan. Lagi-lagi, aku gagal berbicara.
Aku mulai menulis di buku harian sejak tiga tahun lalu. Setiap malam, aku tuangkan semuanya di sana. Tentang perasaan yang tak kupahami. Tentang harapan-harapan kecil yang kupeluk diam-diam. Aku menulis seperti sedang bercerita pada sahabat yang tak pernah menghakimi.
Satu malam, aku menulis:
"Hari ini aku merasa seperti kaca. Orang-orang melihatku, tapi tak pernah benar-benar melihat isinya. Padahal aku ingin sekali bicara. Aku ingin mereka tahu aku ada."
Tapi tulisan tak bersuara. Ia tak bisa memaksa orang untuk mendengar.
Suatu hari, guru Bahasa Indonesia memberiku tugas: tulis cerpen tentang sesuatu yang tak pernah bisa kamu ucapkan.
Aku menulis tanpa henti. Dalam waktu dua jam, lahirlah cerpen berjudul "Dinding yang Tak Pernah Membalas." Isinya tentang seorang anak yang terus berbicara kepada dinding kamarnya, berharap suatu hari dinding itu menjawab. Anak itu kesepian, tapi tak ada yang tahu, karena ia terlalu pandai menyembunyikan semuanya di balik senyum.
Tiga minggu kemudian, cerpenku dibacakan di depan kelas.
Aku gemetar. Suaraku bergetar di setiap kata. Tapi aku terus membaca, sampai titik terakhir. Hening. Lalu terdengar tepuk tangan—tak meriah, tapi cukup membuat mataku panas.
Selesai kelas, Desti mendekat. Ia menatapku lama, lalu berkata pelan, “Itu tentang kamu, ya?”
Aku tak menjawab. Tapi senyumku adalah pengakuan.
Sejak saat itu, aku tahu—ada hal-hal dalam diriku yang tak akan pernah menemukan telinga… kecuali aku sendiri yang memberanikan diri untuk membuka mulut.
Dan ketika aku bicara, meski hanya satu orang yang mendengar, itu sudah cukup.
Komentar
Posting Komentar