Tempat Pulang yang Tak Pernah Ada

 

Tempat Pulang yang Tak Pernah Ada

 

Namanya Xena. Seorang gadis remaja berumur 17 tahun yang dikelilingi banyak teman, tawa, canda, terlihat ramai. Tapi di balik itu semua, ada yang kosong. Tak ada tempat yang benar-benar bisa disebut "rumah".

 

Rumahnya sendiri bahkan tidak terasa seperti rumah. Rumah yang banyak dikenal dengan tempat paling nyaman dan aman oleh banyak orang, tapi malah terlihat seperti hal yang paling kosong baginya.

 

"Ma, Xena pulang," ucapnya suatu sore. Akan tetapi tak ada satupun jawaban. Hanya suara televisi dari ruang tengah dan bunyi ketikan laptop dari kamar kakaknya. Seperti biasa, semua sibuk dengan urusannya masing-masing.

 

Kadang Xena ingin bercerita tentang betapa lelahnya hari itu, tentang guru yang marah-marah, tentang temannya yang diam-diam bermuka dua dan menusuk dari belakang. Tapi... pada siapa ia menceritakan itu semua?

 

Xena juga sering memilih untuk jalan-jalan sendiri. Karena hal itu saja lah yang dapat ia jadikan, pelampiasan.

 

Berkeliling kota tanpa tujuan jelas. Hanya sekedar duduk di taman, menatap langit, atau berjalan menyusuri gang-gang kecil.

 

Sampai suatu hari, hujan turun saat ia berada di halte tua dekat jembatan.

 

"Eh, maaf, boleh nebeng di sini? Aku nggak bawa payung..." suara gadis kecil mengagetkannya.

 

Xena mengangguk pelan. Gadis itu duduk di sebelahnya. Terlihat lebih muda, mungkin sekitar dua tahun di bawahnya. Diam sebentar, lalu bicara lagi.

 

"Aku kabur dari sekolah tadi."

 

Xena menoleh. “Kenapa?”

 

"Capek. Mereka bilang aku aneh. Gaya bicaraku, cara jalanku, semuanya salah. Aku bahkan hampir dipindah sekolah karena masalah ini," Gadis itu tertawa getir. "Padahal aku nggak pernah minta dilahirkan berbeda."

 

Xena terdiam. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang familiar. Rasa ditolak, tidak punya tempat, sendirian.

 

"Aku Xena," katanya akhirnya. "Kamu siapa?"

 

"Aku Tala."

 

"Nama yang lucu, aku suka... Tala ya?"

 

"Iya, Tala. Arutala."

 

Xena tersenyum mendengar perkataan gadis kecil yang ternyata bernama lengkap Arutala.

 

"Eumm... Kamu kenapa sendiri di sini?" Tanya Tala, menatap lekat Xena.

 

"Aku cuma pingin jalan-jalan."

 

"Kok sendiri? Apa kamu ga punya temen?" Tala kembali bertanya, dengan tatapan layaknya anak kecil yang polos.

 

"Ngga. Semuanya lagi sibuk."

 

"Aku ngga sibuk kok. Sekarang kamu sudah punya temen. Sekarang kamu sudah engga sendiri lagi di sini," ucap Tala menggenggam tangan Xena, dan tersenyum manis padanya.

 

"Kamu mau jadi temen aku?" Tanya Xena. Tala hanya mengangguk dengan senyum yang sama sekali tak luntur dari bibirnya.

 

"Aku juga ga punya temen. Kalau kamu mau jadi temen aku, nanti aku punya temen deh."

 

"Ya udah. Gimana kalau besok, kamu ikut aku ke perpustakaan itu?," ajak Xena sambil menunjuk sebuah perpustakaan besar di seberang mereka.

 

"Oke. Besok jam segini, kita ketemu di sini. Sepakat?," balas Tala, mengulurkan tangannya.

 

Xena membalas uluran tangan Tala, "Setuju."

 

Setelah itu, mereka duduk lama dalam diam. Tapi bukan diam yang hampa. Diam yang terasa hangat, seolah mereka baru saja menemukan satu hal yang selama ini mereka cari, yaitu seseorang yang mau saling mendengarkan.

 

Keesokan harinya. Xena dan Tala sudah berada di tengah-tengah deretan rak buku yang ada di perpustakaan.

 

Mereka saling merekomendasikan buku bacaan, membaca buku bersama, dan sesekali saling curhat tentang kejadian yang pernah mereka alami di hidup mereka masing-masing.

 

"Xena..." Panggil Tala lirih.

 

Xena tak menjawabnya, namun ia hanya menoleh pada Tala.

 

"Maaf ya, lama... Aku mampir dulu beli teh botol," tutur Tala, masih dengan suaranya yang lirih.

 

"Gapapa... Sini deh, tadi aku nemuin buku yang mungkin kamu bakal suka," ujar Xena, tersenyum hangat.

 

Mereka mulai menghabiskan waktu bersama dengan saling membolak-balikan lembaran buku yang mereka baca. Bahkan sesekali mereka saling menyodorkan buku yang mereka baca pada satu sama lain.

 

"Eh, Xena..." Tala tiba-tiba membuka ritsleting bagian paling dalam dari ranselnya. Ditariknya sebuah buku lusuh berwarna hijau tua, penuh coretan di sampul.

 

"Apa itu?" tanya Xena, sedikit mencondongkan tubuh.

 

"Jurnalku... tempat aku nyimpen semua yang aku gak bisa bilang ke orang lain," Tala menunduk pelan. "Tapi sekarang, aku pengin kamu lihat."

 

Xena sempat ragu, tapi tetap menerima buku itu dengan hati-hati. Di dalamnya ada puisi, curhatan, bahkan sketsa-sketsa kecil yang menggambarkan sosok sendirian di tengah hujan, atau seorang gadis yang berteriak tapi suaranya tak terdengar.

 

Salah satu halaman membuat Xena terdiam:

 

 "Kalau dunia ini terlalu ramai, kenapa aku merasa sepi? Kalau aku salah, kenapa ga ada satupun orang yang mau mengajariku dengan benar? Kalau aku menghilang, akankah ada yang mencariku?"

 

Xena menatap mata Tala. Hatinya terasa bergetar setelah membaca tulisan Tala tadi. Matanya tak bisa berbohong. Ia tahu itu bukan hanya sekedar tulisan, itu adalah luka yang Tala tulis saat dunia sedang menghakiminya.

 

Tala tersenyum kecil. "Aku tulis itu biar nggak gila aja sih. Tapi sekarang... aku seneng karena ada yang ngebaca."

 

Xena menutup jurnal Tala. Ia tersenyum pada gadis kecil itu, lalu menariknya ke dalam pelukannya yang hangat. "Terima kasih sudah percaya."

 

Setelah itu, mereka melanjutkan hari itu dengan bersenang-senang. Saat ini mereka sedang membangun rumah bersama. Namun bukan rumah yang berbentuk bangunan, melainkan rumah untuk pulang ketika dunia sedang tidak adil pada mereka. Rumah itu mereka bangun dengan kepercayaan dan keberanian untuk membuka luka mereka kepada satu sama lain.

 

Hari-hari pun berlalu. Kini dua gadis itu berada di sebuah taman, menikmati udara sore yang memenangkan.

 

Tala duduk di rerumputan taman dengan memeluk lututnya sendiri. Sedangkan Xena duduk di bangku panjang yang tersedia di taman.

 

Keduanya hanya terdiam. Hari itu terasa aneh, tak ada lagi yang saling bercerita, tak ada lagi suara tawa dari keduanya. Hanya satu yang tersisa, kesunyian.

 

Kesunyian saat ini berhasil menguasai mereka. Keduanya terdiam tanpa ada kata-kata yang keluar satu pun dari mulut mereka masing-masing.

 

"Aku ngerasa kamu beda, Xen, " Suara Tala berhasil memecahkan keheningan di antara mereka.

 

"Maksud kamu?."

 

"Kamu berubah, Xen. Entah. Aku ngerasa kamu lebih dingin dan menjauh dari aku. Aku tau aku bukan orang yang gampang disukai sama orang lain, Xen. Tapi kamu? Kamu satu-satunya tempat aku pulang. "

 

Xena menundukkan kepalanya, menggenggam tangannya sendiri dengan erat. "Aku... Aku nggak bermaksud buat ngejauh, Tal. Aku cuma takut kamu ngerasa risih karena aku terlalu nempel sama kamu. Aku takut kayak semua orang yang ada di masa lalu aku. "

 

"Tapi aku ga sama kayak orang-orang itu, Xen." Bantah Tala dengan tegas.

 

Xena akhirnya menatap Tala balik. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia mendekati tubuh Tala dan memeluknya dengan erat, seperti tak ingin terpisahkan.

 

Beberapa hari setelah perdebatan di taman saat itu. Xena sempat berpapasan dengan Tala di halte awal mereka bertemu, Akan tetapi Xena sama sekali tidak mendapatkan teguran sapa maupun senyum dari Tala, setelah itu Xena tidak mendengar kabar Tala sama sekali.

 

Ia merasa khawatir. Berhari-hari Tala tidak memberi kabar, dan pertemuan terakhir nya dengan Tala, wajahnya terlihat murung, seperti sedang menghadapi masalah yang besar. Rasa khawatir Xena semakin menjadi-jadi, terlebih setelah mendapati Tala mengirimkan pesan singkat padanya. "Mungkin aku sudah ga akan kuat lebih lama lagi. Tapi makasih udah hadir dan jadi temen yang baik di hidupku. "

 

Xena panik, ia tahu di mana Tala bersekolah. Tanpa pikir panjang, ia bergegas pergi ke sekolah Tala.

 

Sesampainya Tala di sana, ia langsung menerobos masuk pintu gerbang sekolah itu. Dengan langkah lebar, ia terus mencari keberadaan Tala.

 

Namun saat ia berada di sudut lahan parkir sekolah itu, matanya terbelak lebar. Ia melihat Tala sedang dikepung oleh dua siswa perempuan.

 

Tala terlihat ketakutan, tubuhnya bergetar, wajahnya tertunduk ketakutan.

 

Xena sudah tidak dapat menahan emosinya lagi. Ia langsung berjalan mendekati dua siswa perempuan itu, dan menarik kerah baju mereka kebelakang, dan membuat dua siswi itu melangkah mundur.

 

"Apa kau merasa hebat dengan membully orang yang lebih lemah darimu?."

 

Dua siswa itu terkejut.

 

"Siapa lo?."

 

"Aku? Aku kakaknya. Dan jujur, aku perihatin ngeliat kelakuan kalian yang kayak gini. Kalian menindas orang yang sudah jelas gak sama kayak kalian? Kalian nyakitin orang yang udah cukup kuat buat bertahan setiap hari. Dan kalian bangga sama itu semua?!,"

Tanpa menunggu jawaban dari dua siswa itu. Xena langsung membawa Tala pergi dari sana.

 

Saat mereka telah melewati dua siswa tadi. Terdengar salah satu dari mereka mengumpat kecil pada Xena.

 

Tala menatapnya dengan matanya yang memerah. Tapi tatapan itu bukan kesedihan. Itu rasa lega... Karena akhirnya, ada yang datang membelanya.

 

Sejak saat itu, mereka sering bertemu. Tidak tiap hari, tapi cukup sering untuk saling menumbuhkan rasa percaya.

 

"Kadang aku mikir, kalau rumah itu bukan tempat, tapi orang." Kata Tala suatu sore.

 

Xena mengangguk. "Dan kadang, kita bisa nemu rumah di tempat paling nggak terduga."

 

Mereka tidak sempurna. Ada saat mereka salah paham, tidak saling mengerti. Tapi selalu ada jalan kembali. Karena mereka tahu, di dunia yang terasa asing ini, setidaknya mereka saling punya.

 

Kadang, kita berjalan terlalu jauh hanya untuk menyadari bahwa yang kita cari bukan tempat, tapi rasa. Rasa didengar. Rasa dimengerti. Rasa pulang.

 

Xena dan Tala mungkin hanyalah dua orang yang kebetulan bertemu. Tapi dari pertemuan itu, mereka tahu bahwa dunia yang dingin ini bisa terasa hangat… asalkan ada seseorang yang mau tinggal, walau hanya untuk mendengar.

 

Dan mungkin, hanya mungkin, rumah itu tak harus berdinding bata dan beratap genteng. Rumah bisa jadi hati yang mengerti, bahkan jika ia datang dari orang asing yang tiba-tiba duduk di halte pada hari hujan.

Pada hari itu, Xena sadar. Terkadang yang kita butuhkan bukan banyak teman, akan tetapi satu orang yang mau duduk di samping kita, dan mampu mendengarkan banyak hal dalam diri kita, yang mungkin tidak semua orang diluar sana mengerti.

Komentar