Sang Kala
Tema: Banyak Hal Dalam Diriku yang Tak Pernah Menemukan Telinga
Oleh : Ayinta Lulida Fitriyadi
Aku berdiri menatap lekat buku yang berada
di ujung rak buku. Perasaanku antusias mata ku berbinar melihat buku yang
selama ini aku tunggu sekarang berada tepat di hadapanku. Aku menggapai
bukunya, membuka lembar demi lembar dengan perasaan yang membuncah. Tanpa ragu
aku membawa buku dalam genggaman ku itu untuk dibawa ke tempat peminjaman.
“Pak Tio saya mau pinjam buku ini!” ucapku
dengan nada bersemangat.
“Karya Tere liye lagi?” katanya, dengan
nada sedikit muak.
“Buku apalagi yang akan kau baca kali ini
Kala?” tanya nya lagi
“Versi editan terbaru novel Hujan pak!”
“Sudah hampir karya Tere Liye disini sudah
kamu pinjam.”
“Yah... tapi aku sih senang kalau kamu
selalu meminjam buku di toko ku,” timpalannya lagi.
“Hehe, uangnya disini ya pak sama kartu
pelajar saya,” jawabku dengan memberikan beberapa lembar pecahan lima ribu
rupiah dengan kartu pelajar di atasnya. Pak Tio hanya melihat ku keluar dengan buku
karya Tere Liye di pelukanku.
Langkah ku ringan dan hatiku sangat senang.
Aku adalah penggemar buku fiksi terutama karya dari Tere Liye. Hampir seluruh
karya buatan nya sudah aku baca. Tere Liye merupakan sosok yang menginsipirasi
ku dalam menulis, hampir seluruh karya baru atau karya lama sudah pernah ku
baca. Aku sangat ingin menjadi penulis seperti dia nantinya.
Aku meletakkan dua buku yang ku pinjam ke
dalam keranjang sepeda. Ku naiki sepeda berwarna pink motif bunga kesayanganku
itu, kayuhan ku ringan genggaman setir ku melembut. Wajahku tak berhenti
menampilkan senyuman kepada semua orang yang melewati ku. Senang, itulah yang
kurasakan.
Aku menyusuri jalan besar dengan sepeda
kesayanganku. Jalanan mulai macet dengan mobil-mobil besar. Aku perlu waktu
beberapa menit untuk sampai ke rumahku. Aku mengayunkan sepedaku, memasuki
celah celah di kemacetan ini. Walau lumayan berpolusi tapi aku tetap menerobos
celah ini.
“Akhirnya sampai juga di rumah.” Tak perlu
waktu lama untuk ku membersihkan diri dari hiruk pikuk kehidupan. Setelah
mengganti pakaian dengan daster pink kesukaan ku, aku mulai mengambil buku yang
ku pinjam.
Aroma buku adalah surga, itulah yang ku
batinkan saat mencium aroma buku. Aku mulai mengambil posisi nyaman di meja
belajarku, camilan sudah tersedia dan kipas angin sudah menyala dengan
sempurna. Aku akan mencurahkan semua waktuku untuk menyelesaikan novel ini. Aku
sangat bersyukur hari ini tidak ada tugas sekolah.
Ting!
Sesaat setelah aku membaca bait pertama
notifikasi ponsel menginterupsi ku. Sagara, nama yang akrab menjadi fokus
pertamaku saat ku lihat namanya ada barisan atas notifikasi ponsel ku.
Kala kamu jadi perwakilan kelas untuk
orasi dua minggu lagi.
Ha?
Tunggu apa maksudnya ini?
Dengan cepat aku langsung menggapai ponsel
ku, mengetik jawaban dengan cepat.
Sagara
Kala kamu jadi
perwakilan kelas
buat orasi dua
minggu lagi.
Ha?
Kok
aku?
Aku
ga punya bakat buat orasi.
Anak-anak udah
percaya ke kamu.
Kita yakin kamu
bisaaa
Kita lanjutin
besok di sekolah aja ya.
“Loh kok centang satu sih!” sebalku saat
ku coba hubungi Sagara lagi. ‘Kok jadi aku sih...,’ aku bergumam kecil
saat melihat lagi chat ku dengan Sagara. Aku melemparkan ponselku di kasur
hingga terpental. Aku menuju meja belajar berniat melanjutkan membaca novel
yang belum ku lanjutkan.
“Ish, jadi ga mood buat lanjutin.”
Kenapa mereka malah nyuruh aku buat jadi
perawakilan orasi, padahal selama di kelas aku cuman diem aja.
Aku anak yang pendiam saat bergaul dengan teman lain. Teman kelas yang akrab
denganku hanya Sagara. Aku terlalu takut dan minder untuk bergabung dengan
teman-teman lain.
Trauma yang pernah ku alami saat sekolah
menengah masih berlanjut sampai sekarang. Aku terlalu takut untuk bergaul,
takut jika mereka menyakiti ku lagi, takut ketika mereka mengabaikan ku lagi.
Aku sangat takut untuk berteman.
Terlalu dalam aku berpikir hingga
membuatku memikirkan sesuatu yang menyakiti diriku sendiri. Aku hanya memeluk
boneka kecil berbentuk kucing pemberian dari Sagara ini. Berpikir mungkin boneka
ini bisa membantu ku mengatasi ketakutan ku.
Selama ini aku selalu dibantu oleh Sagara
bahkan orang tuannya. Orang tuaku selalu bekerja diluar kota bahkan sampai
tidak kembali selama sebulan penuh. Kurangnya perhatian dari orang tua ku sejak
aku kecil membuatku menjadi anak yang sangat pendiam dan sering memendam
masalahku. Aku tidak ingin trauma ku kembali lagi.
Malam yang dingin memasuki celah kecil
jendela rumah ku. Aku melapisi tubuhku dengan selimut berharap rasa hangatnya
menenangkan ku. Aku terisak dan berpikir apakah Sagara juga mengabaikan ku
juga, padahal selama ini dia selalu membantuku.
Terlalu dalam pikiran ku, aku mulai
tertidur dengan rasa dinginnya malam dan bekas air mata di kedua pipi ku.
Sekarang aku disini, di depan gerbang
sekolah ku. Sebenarnya aku terlalu malas untuk sekolah mengingat chat Sagara
yang dikirim kemarin. Tapi aku baru ingat bahwa hari ini aku ada ulangan
biologi. Tentu aku tidak boleh egois hanya karna tidak mood untuk sekolah ini.
Hatiku berat sekali untuk pergi ke kelas,
aku ingin menanyakan ke Sagara kenapa aku yang jadi perwakilan nya... memangnya
tidak ada anak lain.
Aku melangkah di sepanjang koridor kelas.
Menuju kelas paling ujung bersebelahan degan kantin sekolah. Ku lihat sudah ada
beberapa anak yang sudah datang dan berbincang satu sama lain.
“Halo Kala selamat pagi!” sapa Salsa dengan
tersenyum
“Halo juga...Salsa?” balasku dengan
bertanya-tanya.
“Pagi Kala!” sapa Fani juga.
“Selamat pagi Kala!” timpal Tiara dan Jesslyn bersamaan.
“Pagi semuanyaaa!” kata Laura dengan
semangat.
“Eh?” aku terheran heran melihat mereka
bersemangat apalagi mereka menyapa ku juga. Ini berbeda dengan biasanya
“Kala terima kasih banyak ya sudah mau
menjadi perwakilan kelas buat orasi nanti.”
“Iya aku ga nyangka banget kalau tulisan mu
sebagus ini, kamu ternyata suka nulis ya.”
Aku semakin bingung dengan pernyataan
mereka, dan kenapa mereka juga tau bahwa aku suka menulis. Pertanyaan di
kepalaku semakin banyak, aku ingin bertanya tapi sedikit ragu dengan ini semua.
“Kalian tau darimana?” tanya ku dengan
ragu.
“Sagara!” ucap mereka serentak.
Aku hanya menulis di aplikasi Twitter
menyalurkan imajinasi ku dengan membuat alternatif universe. Membuat dan
mengarang cerita yang ada di kepalaku. Aku hanya berpikir untuk membuat cerita
sebagai bentuk pelarian jika aku memiliki masalah. Tapi aku tidak menyangka cerita
kekanakan ku itu dibaca oleh teman sekelas ku.
Rasanya aku ingin masuk ke lubang tikus
menyembunyikan diriku. Aku yakin wajahku saat ini sangat merah seperti tomat.
Aku sangat malu cerita ku dibaca oleh mereka, dan apa kata mereka ‘tulisanku
bagus’ ?. aku merasa diriku tidak pantas dipuji sebegitunya hanya karena
tulisan kecilku itu.
“Benar kan! tulisan Kala memang bagus
banget”
Aku menoleh ke belakang melihat sosok
lelaki yang menjadi biang keladi dari masalah ku ini. Aku mempelototi nya saat
mata kita bertemu. Dia hanya terkekeh tersenyum menampakkan sederet gigi
putihnya.
“Lalu kenapa kamu malah nyuruh aku buat
jadi perawakilan orasi?” tanyaku meminta jawaban.
“Karena tulisan kamu bagus Kala, aku ingin
kamu menyalurkan bakat menulis mu di orasi ini.”
“Oke aku bisa membantu membuat narasi
untuk orasi nya, tapi aku ga bisa public speaking.” Aku terlalu takut untuk
maju di depan bayak orang. Bagaimana jika aku membuat kesalahan dan membuat
kelasku dilihat jelek oleh orang lain.
“Kamu kan bisa nawarin Nanda buat jadi
perwakilan orasi,” timpal ku lagi.
“Aku bisa buatin narasinya, biar Nanda
yang orasi ya?” aku berusaha mencoba diriku supaya tidak menjadi perwakilan
orasi.
“Ga bisa dong Kal, narasi itu kan punyamu
jadi tentu kamu yang orasi.” Nanda muncul dari dalam kelas menjawab pertanyaan yang
aku ajukan tadi.
“Kala aku tau kamu punya trauma, tapi kamu
tidak semestinya hanya diam menerima itu semua, kamu bisa lawan Kala”
“Jadikan ini sebagai langkah awal kamu buat
bangkit. Kita di sini semua bisa bantu kamu, jangan khawatir sama orang lain
karena kamu punya teman-teman yang bisa bantu kamu semua”
“Benar! kita yakin kamu pasti bisa, kamu
hebat banget loh bisa buat tulisan yang sebagus itu”
Rasanya aku ingin menangis.
Aku tidak menyangka mereka akan mendukung
ku dengan penuh. Rasanya beban hati yang ku bawa hanya beban yang tidak tidak
berguna. Aku terlalu berpikir secara berlebihan tentang mereka. Padahal mereka
sangat mendukung bahkan sampai mempercayai ku untuk menjadi perwakilan kelas.
Aku tidak bisa membendung air mata yang
berkumpul di mataku. Aku sedikit terisak menyampaikan rasa terima kasih
sebesar-besarnya kepada mereka sudah percaya. Aku merasa tangan Sagara menepuk
kepala ku seolah menyampaikan rasa untuk jangan khawatir. Aku semakin terisak hingga
teman teman lainnya merangkul ku. Memberikan semangat dan dukungan dari yang
aku kira.
“Tapi aku tidak bisa public speaking,
gimana kalau aku nanti gugup?” tanyaku sambil menyeka air mata dengan tisu yang
diberikan Laura.
“Tenang aja aku, Salsa bakal bantu kamu
kok,” ucap Nanda dibarengi anggukan oleh Salsa.
Aku semakin berterima kasih mereka mau
membantuku. Memberikan dukungan yang mereka bisa kepadaku. Aku juga tidak bisa
membalas rasa terima kasihku dengan sepele kepada Sagara. Dia yang telah
memberikan kesempatan ini untukku. Pulang sekolah dia akan ku traktir mie ayam.
“Guys! hari ini ulangan biologi tidak
jadi! Bu Puspa harus dampingi anak lomba!” Pernyataan sang ketua kelas membuat anak kelas
senang karena hari ini jam kosong. Tar terhindar aku juga, sepertinya hari ini suasana
hati ku akan sangat baik.
Hari demi hari, setiap pulang sekolah
Nanda dan Salsa membantu ku untuk berorasi. Mereka memperbaiki pembicaraan ku
yang kaku. Memberi tips supaya tidak terlalu gugup. Dan selalu mengapresiasi ku
untuk selalu semangat dalam orasi ini.
Hingga akhirnya hari orasi tiba, aku sudah
berusaha saat ini. Ku lihat teman-teman lainnya mendukung ku dari bangku
penonton. Aku tidak ingin mengecewakan mereka. Aku ingin memberi yang terbaik
untuk hari ini.
Matahari mulai terbenam, juri mulai
mengumumkan untuk para peserta yang mengikuti orasi untuk duduk dengan rapi di
bangku penonton. Juri mulai membaca nominasi pemenang orasi.
“Pemenang juara 2 orasi tingkat kelas XI
dimenangkan oleh kelas...XI-2!
“YEY!”
“WUAHH”
“KALA KITA MENANG!”
Ah...apakah ini yang rasanya melegakan,
aku tidak menyangka bahwa aku bisa membuat kelasku meraih juara 2. Teman-teman
ku mulai berlari ke arahku merangkul ku dengan satu sama lain. Menyoraki ku
yang telah membuktikan usahaku tidak sia sia.
Aku melihat wajah Sagara yang sangat
bangga padaku dan aku membalasnya dengan senyum yang paling lebar yang belum
pernah aku berikan ke siapapun.
Hari ini aku menjadi manusia paling
berterima kasih. Aku sangat bersyukur tuhan telah mengirimkan teman yang paling
berharga yang selalu membantuku. Dan sahabat yang selalu percaya kepadaku lebih
dari aku percaya kepada diriku sendiri. Terima kasih juga untuk diriku yang
tidak pernah menyerah dalam kehidupan ini.
Selesai.
Karya: Ayinta
Lulida Fitriyadi
Dari kelas XI-2
Komentar
Posting Komentar