Di Ujung Rasa

Di Ujung Rasa

Lampu kamar rumah sakit memancarkan cahaya yang menyilaukan, tapi Hanna tetap merasa dingin. Bukan hanya karena efek samping kemoterapi yang terus menggerogoti tubuhnya, tapi karena sebuah kesunyian yang membeku di dalam dirinya. Kesunyian yang lebih dingin dari musim dingin mana pun. Hanna, 17 tahun, divonis kanker stadium lanjut enambulan lalu. Sejakitu, hidupnya berubah menjadi serangkaian jadwal pemeriksaan, infus, dan rasa sakit yangtakada habisnya. Rambutnya rontok, kulitnya pucat, dan tenaganya terkuras habis. Tapi yang paling menyakitkan adalah kesendirian yang menggerogoti jiwanya.

Di luar, semua orang tampak peduli. Kedua orang tuanya bergantian menemaninya di rumahsakit, sahabat-sahabatnya mengirimkan pesan semangat. Tapi di dalam hatinya, Hanna merasaterisolasi. Mereka semua melihat Hanna yang sakit, Hanna yang berjuang, Hanna yang "kuat". Tapi tidak ada yang benar-benar melihat Hanna yang sebenarnya. Ada begitu banyak hal yangingin ia katakan, begitu banyak perasaan yang ingin ia sampaikan. Ketakutan yang mencengkeram setiap malam sebelum tidur, ketika ia membayangkan masa depannya yangmungkin tidak ada. Kemarahan yang membara ketika ia menyadari bahwa hidupnya, yangbarusaja dimulai, mungkin akan segera berakhir. Penyesalan yang menghantuinya karena belummewujudkan mimpi-mimpinya, karena belum cukup mencintai, karena belumcukup hidup.

Tapi kata-kata itu selalu tercekat di tenggorokannya. Bagaimana ia bisa menjelaskan ketakutanyang begitu besar kepada orang tuanya, yang sudah terpukul dengan penyakitnya? Bagaimanaia bisa mengungkapkan kemarahannya kepada sahabat-sahabatnya, yang berusaha kerasuntukmenghiburnya?. Jadi, Hanna memilih untuk tersenyum. Ia membalas pesan-pesan semangat dengan kata-kata positif, ia tertawa mendengar lelucon ayahnya, dan ia berusaha terlihat kuat di depan kedua orang tuanya. Ia menyembunyikan ketakutan, kemarahan, dan penyesalannyadi balik topeng keberanian. Ia menjadi "Hanna yang kuat" yang semua orang harapkan. Namun, setiap malam, ketika lampu kamar rumah sakit dipadamkan dan kesunyian merayap masuk, topeng itu runtuh. Hanna yang sebenarnya muncul, rapuh dan ketakutan. Ia menangis dalamdiam, meratapi nasibnya, dan bertanya-tanya apakah ada orang yang benar-benar peduli denganapa yang ia rasakan.

Hanna menghabiskan waktu luangnya dengan melukis di kasurnya sambil sesekali menatapjendela, melihat birunya langit. Hanna cemburu pada burung-burung yang terbang bebas dansehat. Hanna cemburu pada orang-orang yang berlalu lalang di bangsalnya untuk menjenguk. Terkadang, dia cemburu melihat orang lain bercerita panjang lebar tentang keadaan merekakepada orang tuanya dengan bebas, tidak seperti dirinya yang selalu harus merangkai kata-katadulu sebelum berbicara. Entah mengapa dia merasa asing dengan orangtuanya sendiri padahal ia sendiri tahu bahwa kedua orang tuanya sangat menyayangi dan mencintainya.

Suatu hari, seorang dokter bernama Aineth masuk ke kamarnya. Aineth bukan hanya seorangdokter yang profesional, tapi juga seorang pendengar yang baik. Ia selalu menyempatkandiri untuk berbicara dengan pasien-pasiennya, bukan hanya tentang penyakit mereka, tapi jugatentang kehidupan mereka. "Bagaimana perasaanmu hari ini, Hanna?" tanya Aineth sambil memeriksa infusnya. "Seperti biasa," jawab Hanna dengan senyum yang dipaksakan. "Sedikit lelah, tapi baik-baik saja". Aineth menatapnya dengan tatapan yang lembut namun menusuk. "Kamu tahu, Hanna," katanya, "tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Tidak apa-apa untukmerasa takut, marah, atau sedih. Kamu tidak harus selalu kuat."

Mendengar kata-kata itu, pertahanan Hanna runtuh. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," ujarnya terisak. "Ada begitu banyak hal di dalamdirikuyangtidak pernah menemukan telinga." Aineth duduk di samping tempat tidurnya dan menggenggamtangannya. "Aku di sini untuk mendengarkan," katanya dengan suara lembut. "Katakan apapunyang ingin kamu katakan. Jangan takut untuk jujur". Dan Hanna pun mulai bercerita. Ia menceritakan tentang ketakutannya, kemarahannya, dan penyesalannya. Ia menceritakantentang mimpinya yang belum terwujud, dan tentang rasa bersalahnya karena telah menjadi beban bagi keluarganya.

Aineth mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi, tanpa menyela. Ia hanyamendengarkan, dan dengan mendengarkan, ia memberikan Hanna sesuatu yang sangat berharga yaitu ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Setelah Hanna selesai bercerita, Ainethbertepuk tangan dengan bangga karena Hanna berani bercerita. Hanna tertawa malu danmerasa lega. Beban berat yang selama ini membebani hatinya sedikit terangkat. Ia masihtakut, masih marah, dan masih menyesal. Tapi sekarang, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Adaseseorang yang mendengarkannya, seseorang yang memahaminya, seseorang yang peduli.

Malam itu, Hanna tidur lebih nyenyak dari biasanya. Ia masih sakit, tapi ia tidak lagi merasasendirian. Ia tahu bahwa perjuangannya belum berakhir, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak harusmenghadapinya sendirian. Di beberapa hari kemudian, Hanna mulai perlahan bercerita panjanglebar tentang dirinya sesungguhnya. Ibunya terkejut dan meneteskan air mata. Ayahnya langsung memeluknya dan berusaha menenangkannya. Kedua orang tua Hanna berjanji akan selalu berusaha mengenal Hanna lebih dalam dan menemaninya hingga akhir hayat nanti. Begitupula dengan sahabat-sahabatnya, mereka langsung memeluk Hanna sambil menangis.

Hanna merasa bahagia dan lega. Tiba-tiba arah pandangnya menuju Aineth yang berdiri di dekat koridor bangsal sambil tersenyum bahagia kepada Hanna. Hanna membalas senyumannyadengan mengangguk sedikit. Aineth mungkin hanya seorang dokter, tapi ia telah memberikanHanna hadiah yang tak ternilai harganya: sebuah telinga yang mau mendengarkan, sebuahhati yang mau memahami, dan sebuah jiwa yang mau peduli. Dan kadang-kadang, itulah yangkitabutuhkan untuk bertahan hidup.

Komentar